Menjawab Dakwaan: Imam Abu Hanifah Membenarkan Muzik?

1 12 2018

Menjawab Dakwaan: Imam Abu Hanifah Membenarkan Muzik?

OLEH: Ustaz Muhammad Izzat Al-Kutawi 

Saya pernah dihubungi oleh ikhwah serumpun dari Riau, Indonesia, memohon penjelasan tentang dakwaan seorang ustaz yang menisbahkan pendapat keharusan muzik kepada imam-imam mazhab. Daripada semakan sepintas lalu, didapati dakwaan tersebut sangat keliru. Jadi, saya terpaksa menulis lagi bagi menyelamatkan keadaan.

Sebelum saya memberikan satu contoh bagi membenarkan dakwaan saya, ingin dijelaskan bahawa nukilan-nukilan seperti ini memang wujud dalam kitab ulama. Tetapi, kebanyakannya daripada kitab-kitab ulama yang memang mempertahankan keharusan muzik seperti Ibnu Hazm, Ibnu Tahir, dan al-Shawkani. Manhaj mereka ialah mengumpulkan kesemua pendapat yang menyokong keharusan muzik tanpa mengira kesahihan penisbahan atau ketepatan ibarat berkaitan, kerana tujuan mereka hanyalah untuk meruntuhkan dakwaan ijmak keharaman muzik.

Jadi, ulama fiqh yang kurang arif dalam hal mengkritik penisbahan pendapat dan riwayat daripada imam dan ulama terdahulu, menyalin nukilan-nukilan tersebut dalam kitab-kitab mereka, biarpun riwayat tersebut tidak sahih atau mungkar, lalu mengisbatkan khilaf dalam masalah muzik. Demikian itu lazim berlaku dalam kitab-kitab fiqh dalam pelbagai masalah, kerana meneliti setiap penisbahan pendapat sangat sulit dan memakan masa. Ada yang sahih tetapi tersilap faham, atau dusta tetapi dianggap benar. Tambah pula, fiqh tidak bersanad seperti hadis, dan dinukilkan dengan tasarruf secara sangat bebas.





https://almanhaj.or.id/3020-munculnya-nabi-palsu-fenomena-akhir-zaman.html

20 11 2018

MUNCULNYA NABI PALSU, FENOMENA AKHIR ZAMAN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Di antara keyakinan di dalam agama Islam yang tidak dapat diganggu gugat adalah bahwa nabi Muhammad bin Abdullah Al-Hasyimi Al-Qurasyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah kepada seluruh bangsa di dunia, dari kalangan jin dan manusia. Dan bahwa beliau adalah penutup seluruh para nabi dan rasul, tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau. Maka barangsiapa mengaku sebagai nabi atau rasul, pembawa syari’at baru atau tanpa syari’at baru, setelah nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau membenarkan pengakuan seseorang sebagai nabi, sesungguhnya ikatan Islam telah lepas dari dirinya.

Akan tetapi, hikmah Allah telah menetapkan bahwa Dia akan menguji keimanan hamba-hambanya dengan memunculkan orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi orang yang memiliki ilmu warisan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka peristiwa itu akan menambah keyakinan dan keimanannya terhadap kebenaran nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama yang beliau bawa. Karena memang fenomena akan munculnya para dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai nabi itu telah diberitahukan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa kehidupannya.

Maka di sini, -insya Allah- kami akan membahas seputar masalah ini, agar kaum muslimin selamat dari kesesatan yang dapat mengeluarkan mereka dari agamanya ini. Mudah-mudahan Allah membimbing kita semua di atas jalan yang lurus. Aamiin.

 

https://almanhaj.or.id/3020-munculnya-nabi-palsu-fenomena-akhir-zaman.html





PULUHAN  KALAM ULAMAK MUKTABAR YANG MEMBANTAH MAULID

5 01 2015

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باالله من شرور انفسنا ومن سيئات  اعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ونشهد أن لا إله الا الله وحده لا شريك له ونشهد أن محمدا عبده ورسوله

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan kami memohon pertolongan-Nya dan kami memohon keampunan-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan dari keburukan perbuatan kami. Sesiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiadalah kesesatan baginya dan sesiapa yang disesatkan oleh Allah maka tiadalah petunjuk baginya. Kami bersaksi bahawa tiada tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan kami bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Surah ali-‘Imran, 3: 102)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya. Dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (Surah an-Nisaa’, 4: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

 

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, nescaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Surah al-Ahzab, 33: 70-71)

أما بعد,

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا فَاِنِّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan semua yang diada-adakan adalah bid’ah. Semua yang bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempat kembalinya adalah neraka.” (Hadis Riwayat an-Nasaa’i, Bab: Kaifa al-Khuthbah, 6/27, no. 1560)

 

Oleh kerana amalan maulid adalah amalan syiah seperti  yang diungkapkan oleh Al Maqriziy, maka kebatilan maulid adalah datang daripada mereka yang kerap dilakukan oleh mereka2 yang kononnya mencintai Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146]

2. Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

3. Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[ Dinukil dari Al Maulid, hal. 20] Dalam kitab beliau yang berjudul Al-Ibda’ fii Madhorril Ibtida,hal. 272 tatkala beliau menyebutkan beberapa contoh hari raya yang disandarkan kepada syari’at, padahal dia bukan termasuk darinya, beliau berkata,

“… di antaranya adalah malam ke 12 Rabi’ul Awwal, manusia berkumpul di masjid-masjid dan selainnya untuk merayakannya (bid’ah maulid). Sehingga mereka melanggar kehormatan rumah-rumah Allah -Ta’ala-, mereka berbuat isrof (berlebih-lebihan) di dalamnya, para pembaca meninggikan suara-suara mereka dengan melantunkan qoshidah-qoshidah berupa nyanyian (nasyid dan yang semisalnya) yang membangkitkan syahwat para pemuda untuk berbuat kefasikan dan kefajiran.

Maka engkau melihat mereka ketika itu berteriak dengan suara-suara kemungkaran, memunculkan di dalam masjid-masjid goncangan yang mengagetkan. Terkadang mereka sama sekali tidak menyinggung dalam qoshidah-qoshidah mereka, sedikitpun di antara kekhususan-kekhususan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, akhlak-akhlak beliau yang mulia, dan amalan-amalan beliau yang bermanfaat dan mulia. Di antara mereka ada yang menyibukkan diri dengan dzikir-dzikir yang dibuat-buat.

Semua perkara ini adalah perkara yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak pernah dilakukan oleh para salafush sholih. Jadi, ini adalah bid’ah dan kesesatan”.

Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?

4. Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” [Majmu’ Al Fatawa, 35/127]

5. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[ Majmu’ Al Fatawa, 35/127]

6. Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[ Wafayatul A’yan, 3/117-118]

7. ‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.[ Wafayatul A’yan, 3/117-118]

Beliau berkata setelah menyebutkan perkataan para ulama terdahulu dan belakangan tentang bid’ahnya maulid,

“Maka dari sela-sela syawahid (pendukung-pendukung) berupa atsar-atsar para salafush sholih dan yang mengikuti manhaj mereka ini, nampak jelas bagi kita bahwa mereka telah bersepakat bahwa sesungguhnya perayaan maulid Nabawy adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak datang atsarnya (dalilnya) dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula dari para sahabat beliau -ridhwanullahi ‘alaihim-, tidak pula dari para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan yang mengikuti mereka dari kalangan imam-imam yang terkenal dari pendahulu kita yang sholeh -rahmatullah ‘alaihim-”

Lihat Kitab beliau Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 205

8. Al-‘Allamah At-Tuwaijiry -rahimahullah– berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 79,

“Tidak pernah disebutkan dari seorangpun dari para penya’ir sahabat -radhiyallahu ‘anhum- bahwa mereka mengungkapkan kecintaan mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dengan melantunkan qoshidah-qoshidah (sya’ir-sya’ir) pada malam kelahiran beliau, akan tetapi kebanyakannya mereka melantunkannya ketika terjadinya penaklukan suatu negeri dan ketika mengalahkan musuh-musuh.

Di bangun di atas dasar ini, berarti pelantunan (sya’ir) di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bukanlah sesuatu yang pernah dilakukan oleh Ka’ab bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, dan selain keduanya dari kalangan para penya’ir sahabat, (bukanlah) merupakan perkara yang bisa dipegang oleh Ar-Rifa’iy dan selainnya dalam menguatkan bid’ah maulid”.

Ar-Roddu ‘ala Syubhat man Ajazal Maulid syubhat kesepuluh]

9. Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[ Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143]

10. Syeikh Abdul Aziz bin Bazz mengatakan :” Tidak boleh mengadakan kumpul2 memperingati kelahiran Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam juga selain beliau. Kerana hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah mengerjakannya, begitu juga para Khulafa arRasyidin, para sahabat, tabi’in yang mereka itu adalah generasi terbaik yang lebih mengerti tentang Sunnah, lebih mencintai Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti syariat daripada generasi yang setelahnya.

Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ اَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan (hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan dari ajarannya, maka ianya tertolak.”

Hadith Riwayat Bukhari no 2697, Muslim no 1718. [Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 1/183]

11. Al Lajnah adDa’imah menyebutkan:

“Tidak boleh menyelenggarakan perkumpulan dalam rangka memperingati kematian para nabi dan orang-orang sholeh dan tidak pula rangka memperingati hari kelahiran mereka, tidak memajang symbol-simbol, lentera/lampu atau lilin pada kuburan mereka, membangun kubah atau masjid di kawasa kuburan mereka atau menutup kuburannya dengan kain, dan sebagainya, kerana semua hal tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama dan merupakan sarana syirik. Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya terhadap para Nabi dan orang-orang sholeh sebelum beliau, para sahabat radiyallahu anhum pun tidak pernah melakukan hal itu kepada Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak seorang pon di antara para ulama sebagai generasi terbaik melakukannya, bahkan tidak seorang pun di antara para wali, orang-orang sholeh, para raja atau menguasa setelah mereka melakukannya. Sementara kebaikan adalah dengan ittiba’ (mengikuti) tuntutan Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa arRasyidin yang mendapat petunjukserta orang-orang yang mengikuti jejak dan meniti langkah mereka, sedang keburukan itu adalah dengan mengikuti para pelaku bid’ah dan mengamalkan bid’ah2 yang mereka ada-adakan dalam urusan agama. Allah telah berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (alAhzaab 33:21)

Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani kerana mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat beribadah) (hadith riwayat alBukhari ni 435, Muslim no 529 [alLajnah Da’imah li alBuhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, pertanyaan ketiga dari fatwa no 1774]

12. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Dalam peringatan maulid yang diselenggarakan, sering terjadi kemungkaran, bid’ah dan pelanggaran terhadap syari’at Islam.

Peringatan maulid tidak pernah diselenggarakan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم, juga tidak oleh para sahabat, tabi’in dan imam yang empat, serta orang-orang yang hidup di abad-abad kekayaan Islam. Lebih dari itu, tak ada dalil syar’i yang menyerukan penyelenggaraan maulid Nabi صلی الله عليه وسلم  tersebut.

Untuk lebih mengetahui hakikat maulid, marilah kita ikuti uraian berikut:

Kebanyakan orang-orang yang menyelenggarakan peringatan maulid, terjerumus pada perbuatan syirik

Yakni ketika mereka mendendangkan:

“Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.

Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran (kami).

Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.

Tiadalah derita (itu) melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri.”

Seandainya Rasulullah صلی الله عليه وسلم  mendengar senandung tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar. Sebab pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita adalah hanya Allah semata. Allah سبحانه و تعالى  berfirman,

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadaNya, dan yang menghilang-kan kesusahan … ?” (An-Naml: 62)
Allah سبحانه و تعالى  memerintahkan Rasulullah agar memaklumkan kepada segenap manusia,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu ke-manfa’atan’.” (Al-Jin: 21)

Dan Nabi صلی الله عليه وسلم  sendiri bersabda,

“Bila engkau meminta maka mintalah Kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.”(HR. At-Timidzi ia berkata hadits hasan shahih)

Padahal Nabi صلی الله عليه وسلم عليه السلام  melarang hal tersebut. Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda,

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanyalah seorang hamba, maka katakanlah (pada-ku), Abdullah (hamba Allah) dan RasulNya.” (HR. Al-Bukhari)

Merayakan hari kelahiran Isa Al-Masih adalah tradisi orang-orang Nasrani

Demikian pula dengan perayaan hari ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat Islam ikut-ikutan meraya-kan bid’ah tersebut. Yakni merayakan hari kelahiran Nabi mereka, juga ulang tahun kelahiran setiap anggota keluarganya. Padahal Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah memperingatkan,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud, hadits shahih)

13. Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

14. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh berkata: Perayaan maulud nabi ini muncul pada abad ke-4 hijriah yang diadakan oleh Bani Ubaid al-Qoddah, mereka menamakan diri mereka dengan fathimiyyin (puak Syi’ah). Kesesatan mereka akhirnya dibongkar oleh ulama sunnah. Mereka ini tergolong daripada tarikat ismailiyah bathiniyah, dan tidak layak dijadikan ikutan. (Hakikah Syahadah “anna muhammadan Rasulullah”: 110)

15. BerkataFadhilah al-Ustaz al-Syaikh ‘Abd al-Majid Salim – rahimahullah – , Mufti al-Diyar al-Masriyah (Mufti Besar Mesir / Grand Mufti of Egypt) untuk tahun 1942M: “amalan maulid dengan sifat yang diamalkan kebanyakan orang pada masa kini tidak pernah dilakukan langsung sama sekali oleh walau seorangpun Salaf al-Soleh, sekiranya hal ini (iaitu Maulid) ini adalah cara untuk mendekatkan diri kpd Allah maka sudah tentu mereka (para Salaf al-Soleh) telah melakukanya” [Rujuk: Fatwa Dar al-Ifta’ (Jabatan & Pejabat Mufti Mesir), nombor fatwa. 589, bertarikh 1 Rabi’ul Thani 1361H, bersamaan 27 April 1942MFataawaa Kibaar ‘Ulamaa’ al-Azhar al-Syareef Hawla al-Adhrihah wal-Qubuur wal-Mawaalid wan-Nudhuur(gambar diatas), – terjemahan adalah nukilan penuh – halaman 64, cetakan Dar al-Yusr, Madinat al-Nasr, Qaherah, 1431H (2010M).

16. BerkataFadhilah al-Syaikh ‘Ali al-Mahfuz – rahimahullah – , anggota Kibar ‘Ulamaa di al-Azhar al-Syarif: “amalan maulid adalah bid’ah kerajaan Fathimiyyah: …Maulid adalah perhimpunan yang didirikan untuk memuliakan mereka-mereka yang telah berlalu (wafat) dari kalangan para Nabi dan para Auliya’…yang pertama-tama mencipta (bid’ah) maulid: yang mula-mula mencipta bid’ah maulid di Qaherah adalah al-Khulafa’ al-Fathimiyyin pada kurun ke-4, dan mereka mencipta bid’ah-bid’ah yang enam berkenaan maulid iaitu:

1- Maulid Nabi
2- Maulid al-Hasan
3- Maulid al-Imam ‘Ali
4- Maulid al-Husain
5- Maulid al-Sayyidah Fathimah al-Zahra’
6- Maulid Khalifah yang memerintah ……”

Fataawaa Kibaar ‘Ulamaa’ al-Azhar al-Syareef Hawla al-Adhrihah wal-Qubuur wal-Mawaalid wan-Nudhuur(gambar diatas), – halaman 75-84, cetakan Dar al-Yusr, Madinat al-Nasr, Qaherah, 1431H (2010M).

18. BerkataFadhilah al-Syaikh Hasanin Makhluf – rahimahullah – , anggota Kibar ‘Ulamaa di al-Azhar al-Syarif, yang juga merupakan Mufti al-Diyar al-Masriyah (Mufti Besar Mesir / Grand Mufti of Egypt) untuk tahun 1946M hingga 1950M: “Bid’ah-bid’ah sesetengah Sufi dalam zikir dan maulid:…tiada asal dalam agama ini untuk mengingati Allah Ta’ala dengan cara ini seperti yang ditanyakan dalam soalan, dan tiadaklah ia dikenal disisi para Salaf al-Soleh, dan tidaklah juga pernah dianjurkan oleh para ulama’ sufi yang ‘arif – mengetahui isi ajaran kitab dan sunnah Nabi Nya – , bahkan ia adalah salah satu dari bid’ah sayyi-ah (bid’ah yang tercela, buruk) yang dicipta oleh sesetengah ahli sufi – yang tidak mengetahui isi ajaran kitab dan sunnah Nabi Nya – , kerana jahil akan petunjuk Rasul SAW dalam cara mengingat Rabb nya, dan ia adalah antara perkara yang haram menurut Syara`….” Fataawaa Kibaar ‘Ulamaa’ al-Azhar al-Syareef Hawla al-Adhrihah wal-Qubuur wal-Mawaalid wan-Nudhuur(gambar diatas), – terjemahan adalah nukilan terpotong – halaman 85-88 , cetakan Dar al-Yusr, Madinat al-Nasr, Qaherah, 1431H (2010M).

18. Muhadditsul Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy –rahimahullah-.

Beliau ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj: Apakah dia adalah bid’ah atau sunnah yang baik, maka beliau menjawab,

“(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah ada di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”.

Lalu beliau membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah. Lihat kitab beliau Ijabatus Sa`il no. pertanyaan 166.

Dalam no. 167 ketika beliau ditanya tentang perayaan maulid, Isra` Mi’raj, dan tahun baru, maka beliau menjawab, “(Semuanya adalah) bid’ah sedangkan Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:

مَنْ اَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).

19. Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –rahimahullah-.

Beliau berkata dalam Al-Fatawa,kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud (1/126) ketika ditanya tentang hukum syar’i perayaan maulid Nabawy,

“… Seandainya perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- termasuk perkara-perkara yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pasti akan disyari’atkan.

Seandainya disyari’atkan, maka pasti akan terjaga karena Allah telah menjamin untuk menjaga syari’at-Nya, dan seandainya terjaga maka tidak akan ditinggalkan oleh para khalifah yang mendapatkan petunjuk, demikian pula para sahabat, yang mengikuti mereka dengan baik, dan yang mengikuti mereka setelahnya.

Tatkala mereka semua tidak pernah mengerjakan sesuatu apapun dari hal tersebut, diketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk agama Allah”.

Dan dalam Majmu’ Fatawabeliau, kumpulan Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany (7/364-365), beliau berkata,

“Dari penjelasan yang telah berlalu, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan maulid Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- adalah tidak boleh. Bahkan dia adalah perkara bid’ah dikarenakan 2 hal:

Malam kelahiran Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidaklah diketahui secara pasti, bahkan sebagian orang-orang belakangan menguatkan bahwa malam maulid adalah malam ke 9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke 12. Oleh karena itulah, menjadikan perayaan ini pada malam ke 12 adalah tidak memiliki landasan dari sisi sejarah.

Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Karena seandainya, jika dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atau beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau mengerjakannya atau menyampaikannya, maka wajib hal itu terpelihara karena Allah -Ta’ala- berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

(QS. Al-Hijr : 9)

Maka tatkala tidak ada sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia bukan bagian dari agama Allah. Jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dan bertaqarrub kepada Allah -’Azza wa Jalla- dengannya”.

20. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan –hafizhohullahu Ta’ala-.

Beliau berkata dalam risalah beliau yang ringkas berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikral Maulid An-Nabawy setelah beliau menyebutkan beberapa syubhat orang-orang yang membolehkan perayaan maulid dan membantahnya, beliau berkata,

“Kesimpulan permasalahan, perayaan memperingati maulid Nabawy -dengan berbagai macam bentuk dan beraneka ragam cara pelaksanaannya- adalah bid’ah mungkar yang wajib atas kaum muslimin untuk melarang (pelaksanaan)nya dan juga melarang bid’ah-bid’ah lainnya.

Dan wajib atas mereka untuk menyibukkan diri dengan menghidupkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, serta jangan tertipu dengan orang-orang yang mencoba melariskan dan membela bid’ah ini.

Karena orang semacam ini perhatiannya untuk menghidupkan bid’ah-bid’ah lebih besar daripada perhatian mereka untuk menghidupkan sunnah-sunah, bahkan kadang mereka sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap sunnah-sunnah.

Orang yang seperti ini tidak boleh untuk diikuti dan dicontoh walaupun kebanyakan manusia adalah dari jenis ini. Akan tetapi yang dicontoh hanyalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj sunnah dari kalangan salafush sholih dan yang mengikuti mereka walaupun mereka sedikit, karena kebenaran itu tidaklah diketahui dengan orang-orang akan tetapi orang-oranglah yang dikenal dengan kebenaran”.

Dalam Al-Muntaqo(2/ no. pertanyaan 160) beliau ditanya seputar perkara maulid, maka beliau menjawab,

“Amalan maulid Nabawy adalah bid’ah, tidak warid (datang) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula dari para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, para sahabat beliau yang mulia, dan tidak pula dari zaman-zaman keutamaan bahwa mereka mengerjakan maulid ini.

Padahal mereka adalah manusia yang paling besar kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan ummat yang paling bersemangat untuk mengerjakan kebaikan. Akan tetapi mereka tidak pernah mengerjakan satupun ketaatan, kecuali sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai pengamalan firman Allah -Ta’ala-:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.

(QS. Al-Hasyr : 7)

Maka tatkala mereka tidak pernah mengerjakan maulid ini, diketahuilah bahwa dia adalah bid’ah”.

Pada pertanyaan no. 161 beliau ditanya tentang hukum perayaan hari ibu dan hari maulid (hari lahir), maka beliau menjawab,

“Perayaan hari-hari maulid, apakah itu maulid para Nabi, para ulama, raja-raja, dan para pemimpin, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang Allah -Ta’ala- tidak pernah menurunkan hujjah atasnya.

Semulia-mulia orang yang dilahirkan adalah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, akan tetapi tidak tsabit (shohih) dari beliau, tidak pula dari para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula dari para sahabat beliau, tidak pula dari orang-orang yang mengikuti mereka, dan tidak pula dari zaman-zaman keutamaan bahwa mereka mengadakan perayaan yang berkenaan dengan kelahiran beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.

Tidaklah hal ini melainkan termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan, muncul setelah berlalunya zaman-zaman keutamaan melalui tangan sebagian orang-orang bodoh yang bertaqlid kepada Nashrani dalam perayaan mereka terhadap maulid Al-Masih (Isa) -‘alaihis salam-”.

Beliau berkata dalam kitab beliau At-Ta’liqatul Mukhtashoroh ‘alal ‘Aqidatith Thohawiyyah, ketika mensyarahperkataan Imam Ath-Thohawy –rahimahullah-,

[“Kami mengikuti Sunnah dan Jama’ah serta kami menjauhi keganjilan,perselisihan, dan perpecahan”], beliau (Syaikh Al-Fauzan) berkata,

“Termasuk di antara bid’ah-bid’ah, sesuatu yang diamalkan berupa perayaan maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wa sallam-). Dia adalah bid’ah, tidak ada dalilnya dari Kitab, tidak pula dari Sunnah, tidak pula berasal dari petunjuk para khalifah yang mendapatkan petunjuk, dan tidak pula dari petunjuk (para ulama yang hidup) pada zaman-zaman keutamaan yang dipersaksikan dengan kebaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Bid’ah ini tidaklah muncul kecuali setelah berlalunya zaman-zaman (keutamaan) ini, tatkala tersebarluasnya kebodohan. Orang yang pertama kali memunculkan maulid ini adalah Syi’ah Al-Fathimiyyun yang kemudian diambil (baca : diikuti) oleh orang-orang yang tertipu dan menyandarkan dirinya kepada Ahlus Sunnah karena niat dan maksud yang baik.

Mereka menyangka bahwa hal itu termasuk bentuk mencintai Rasul (-Shollallahu alaihi wa sallam-), padahal bukan seperti itu cara mencintai beliau, akan tetapi mencintai beliau hanyalah dengan mengikuti beliau, bukan dengan berbuat bid’ah”.

21. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany –rahimahullah-.

Beliau berkata dalam sebagian muhadharah (ceramah) beliau yang terekam dengan berjudul Bid’atul Maulid,

“… kami dan mereka -yaitu para pelaku maulid- bersepakat bahwa perayaan ini adalah perkara baru yang tidak pernah ada sama sekali di zaman beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan tidak pernah ada di tiga zaman keutamaan sebagaimana yang baru kita sebutkan.

Di antara perkara yang sudah dimaklumi bersama bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau. Karena perayaan hari kelahiran, siapapun orangnya tidaklah datang kecuali berasal dari jalan orang-orang Nashrani Al-Masihiyah. Perayaan itu tidak dikenal oleh Islam secara mutlak pada zaman yang baru kita sebutkan. Maka tentunya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih pantas untuk tidak mengetahuinya. Lagi pula ‘Isa sendiri tidak pernah merayakan kelahiran beliau …”.

22. Syaikh ‘Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihy –hafizhohullah-.

Beliau berkata dalam kitab beliau yang berjudul Al-Bid’ah, Dhowabithuha, wa Atsaruha As-Sayyi` fil Ummah, hal. 20-21,

“Sesungguhnya perayaan maulid adalah kedurhakaan kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan penyelisihan yang jelas terhadap larangan beliau. Beliau bersabda dalam hadits Al-Bukhary dan Muslim [Yang benar, lafazh ini hanyalah diriwayatkan oleh Imam Muslim saja sebagaimana yang telah berlalu]:

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).

Beliau (jugs) bersabda dalam hadits yang shohih:

“Setiap perkara baru adalah bid’ah” (Telah berlalu takhrijnya).

Sedangkan maulid adalah perkara baru, tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula empat khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk dan tidak pula oleh seorangpun dari para sahabat beliau. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah-sunnah beliau serta lebih bersemangat dalam mengagungkan dan memuliakan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-“.

23. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr –hafizhohullah-.

Beliau berkata dalam Al-Hatsts ‘alal Ittiba’ wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayani Khothoriha, hal. 55-56,

“Termasuk bid’ah-bid’ah zamaniah (yang berkaitan dengan waktu) adalah perayaan maulid-maulid (hari-hari lahir), seperti perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena ini adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan di abad keempat Hijriah. Tidak datang dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para khalifah dan sahabat beliau sedikitpun tentang hal tersebut. Bahkan tidak datang dari tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka, sedangkan telah berlalu 300 tahun sebelum munculnya bid’ah ini”.

24. Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin –hafizhohullah-.

Beliau ditanya -di sela-sela pelajaran beliau ketika mensyarah (menjelaskan) kitabAl-Ibanah Ash-Shugro– tentang maulid Nabawy dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk bid’ah padahal dia adalah amalan kebaikan dan terkadang para pelakunya menangis di dalamnya. Maka beliau menjawab,

“Iya, perayaan maulid adalah bid’ah karena tidak pernah dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau dan tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat yang mereka ini merupakan sebaik-baik manusia (yaitu) para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Abu Bakr tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, Umar juga tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula dikerjakan oleh ‘Utsman dan tidak juga oleh ‘Ali -radhiyallahu ‘anhum- .

Perayaan maulid ini tidak ada pada abad pertama, tidak pula pada abad kedua dan tidak pula pada abad ketiga. Akan tetapi tidak muncul, kecuali pada abad keempat Hijriah yang dimunculkan oleh Kekhalifahan Al-Fathimiyyun Asy-Syi’ah dalam rangka mencontoh dan menyerupai orang-orang Nashrani yang mengadakan perayaan maulid bagi Al-Masih ‘Isa bin Maryam -‘alaihish sholatu wassalam-. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:

“Setiap bid’ah adalah sesat” (Telah berlalu takhrijnya).

Ini adalah termasuk bid’ah, demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra` Mi’raj, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah.

Seandainyapun seseorang itu menangis, tapi bila tangisannya tersebut di atas selain hidayah, maka tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya. Tangisannya tidak menambah baginya kecuali semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).

Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:

“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan,memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah : 2-5)

[“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina”], tunduk lagi rendah. [“Bekerja keras”], dia telah beramal, sibuk siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan”], lelah dalam beribadah dan beramal, akan tetapi bersamaan dengan itu (mereka) [“memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”] yaitu yang sangat panas, yang kedahsyatan panasnya telah sampai pada puncaknya dan dia diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah.

Jadi, tidak semua yang menangis berarti di atas kebenaran. Seorang kafir bisa menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah”.

25. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rojihy –hafizhohullah-.

Beliau berkata disela-sela mensyarh kitab Syarhus Sunnah karya Al-Barbahary -rahimahullah– ketika menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan waktu,

“… di sana ada beberapa bid’ah yang berkaitan dengan bulan Rabi’ul Awwal. Yang paling nampak adalah bid’ah perayaan maulid, perayaan hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Mereka berkumpul di malam harinya, lalu membaca sirah (sejarah) beliau dan beberapa qoshidah yang memuji Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan terkadang di dalamnya ada syirik akbar kepada Allah -Jalla wa ‘Ala-”.

26. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy –hafizhohullah-, Mufty Saudi Arabia Bagian Selatan

Dalam kitab beliau yang menjelaskan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh yang berjudul Al-Mawridul ‘Adzbizh Zhallal, beliau berkata,

“Perayaan ini (maulid) adalah bid’ah yang dimunculkan oleh Al-‘Ubaidiyyun [Biasa juga dinamai dengan Al-Fathimiyyun, Syi’ah atau Al-Bathiniyyah[ed]] yang menguasai Mahgrib (baca: Maroko) yang kemudian kekuasaannya meluas sampai ke Mesir pada abad ke 5 Hijriah.

Maulid tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari khalifah yang empat, tidak pula oleh seluruh sahabat lainnya dan juga tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari orang yang hidup di zaman-zaman keutamaan. Apakah mereka mengetahui keutamaannya lantas meninggalkannya atau mereka tidak mengetahuinya?!

Kalau kalian mengatakan bahwa mereka mengetahui keutamaannya tapi mereka meninggalkannya, maka kalian telah berdusta atas nama mereka. Kalau kalian mengatakan bahwa mereka tidak mengetahuinya sedangkan kalian yang mengetahuinya, maka kalian lebih berhak untuk tidak tahu daripada mereka”.

27. Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly –hafizhohullah-.

Beliau berkata dalam kumpulan fatwa beliau yang berjudul Al-Ajwibah As-Sadidah (3/564-565),

“Adapun perayaan maulid Rasul yang agung -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka tidak datang pensyari’atannya baik dari Al-Kitab, maupun sunnah qauliyah (berupa ucapan), (sunnah) fi’liyah (berupa perbuatan) dan (sunnah) taqririyah (berupa persetujuan) serta tidak juga dari atsar perbuatan para salaf yang mulia yang merupakan penjaga agama ini dari berbagai bid’ah dan benteng aqidah kaum muslimin dari kerusakan dan kerancuan”.

28. Imam As-Suyuthy –rahimahullah– berkata dalam Husnul Maqshod yang tergabung dalam kitab Al-Hawy lil Fatawa (1/189),

Yang paling pertama mengerjakannya (yaitu perayaan maulid) adalah penguasa Irbil Raja Al-Muzhoffar”.

[Lihat kembali Sejarah Munculnya Perayaan Maulid]

29. Imam Abu Syamah-rahimahullah– berkata dalam Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, hal. 95,

“Termasuk (bid’ah) yang paling baiknya di antara (bid’ah-bid’ah) yang dimunculkan di zaman kita dari jenis ini (yakni bid’ah hasanah [Lihat masalah bid’ah hasanah pada bab Tidak Ada Bid’ah Hasanah Dalam Islam] -menurut beliau-) adalah sesuatu yang dikerjakan di negeri Irbil -semoga Allah memperbaikinya- setiap tahun, pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- berupa sedekah, amalan kebaikan, menampakkan perhiasan, dan kegembiraan …”.

30. Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar –rahimahullah– berkata sebagaimana dalam Al-Hawy hal. 196,

Asal amalan maulid adalah bid’ah, tidak pernah dinukil dari seorangpun dari kalangan salaf ash-sholeh pada tiga zaman (keutamaan)…”.

31. Imam As-Sakhowy –rahimahullah– berkata sebagaimana dalam Al-Mauridur Rowy fil Maulidin Nabawy karya Mulla ‘Ali Qori`, hal. 12,

“Asal amalan maulid yang mulia tidak pernah dinukil dari seorangpun dari kalangan salafush sholih pada 3 zaman keutamaan, tidaklah dia muncul kecuali pada zaman setelahnya dengan maksud-maksud yang baik”.

“tidak dilakukan oleh para salaf dalam abad ke-3, adapun pengamalanya adalah sesudahnya, senantiasa ahlul islam di setiap penjuru dunia melaksanakan peringatan acara maulid nabi saw, diiringi dengan amalan shodaqoh,serta membaca daripada siroh kehidupan nabi saw,yg senantiasa akan tampak keberkahan bg mrka dgn rahmat dari ALLAH yang merata bagi mereka.”
(siroh alhalabiyah juz 1/83-84)

[Maksud baik semata tidak menyebabkan suatu amalan diterima sebagaimana telah berlalu penjelasannya pada bab Syarat Diterimanya Amalan]

32. Yusuf Ar-Rifa’iy berkata dalam kitabnya Ar-Roddul Muhkim Al-Mani’  hal. 153,

“Sesungguhnya berkumpulnya manusia untuk mendengarkan kisah maulid Nabawy yang mulia adalah perkara yang baru diada-adakan setelah zaman kenabian. Bahkan tidaklah dia muncul kecuali pada awal-awal abad ke 6 Hijriah”.

33. Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdil Halim Ibnu Taimiyah -rahimahullah– :

Beliau berkata dalam Majmu’ Al-Fataw(25/298),

“Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari-hari raya yang syar’i,seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul Abror [Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “Lebaran Ketupat”], maka semua ini adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu -Subhanahu wa Ta’ala- A’lam”.

Beliau berkata dalam Al-Iqhtidho(hal. 295),

“… Karena sesungguhnya hal ini (yaitu perayaan maulid) tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, padahal ada faktor-faktor yang mendukung (pelaksanaannya) dan tidak adanya faktor-faktor yang bisa menghalangi pelaksanaannya.

Seandainya amalan ini adalah kebaikan semata-mata atau kebaikannya lebih besar (daripada kejelekannya) maka tentunya para salaf -radhiyallahu ‘anhum- lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena mereka adalah orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dibandingkan kita, dan mereka juga lebih bersemangat dalam masalah kebaikan daripada kita.

Sesungguhnya kesempurnaan mencintai dan mengagungkan beliau hanyalah dengan cara mengikuti dan mentaati beliau, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, dan menyebarkan wahyu yang beliau diutus dengannya, serta berjihad di dalamnya dengan hati, tangan,dan lisan. Inilah jalan orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.

34. Imam Tajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali Al-Lakhmy Al-Fakihany –rahimahullah-.

Beliau berkata di awal risalah beliau yang berjudul Al-Mawrid fii ‘Amalil Maulid,

“Saya tidak mengetahui bagi perayaan maulid ini ada asalnya (baca: landasannya) dari Al-Kitab, tidak pula dari Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalannya dari seorangpun di kalangan para ulama ummat ini yang merupakan panutan dalam agama, yang berpegang teguh dengan jejak-jejak para ulama terdahulu. Bahkan ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak punya pekerjaan (baca: kurang kerjaan) yang dikuasai oleh syahwat jiwanya dan bid’ah ini (hanya) disenangi oleh orang-orang yang suka makan”.

35. Muhammad bin Muhammad Ibnul Haj al Abdari Al-Maliky –rahimahullah-.

Beliau berkata dalam Al-Madkhal (2/2),

“Termasuk perkara yang mereka munculkan berupa bid’ah -bersamaan dengan keyakinan mereka bahwa itu termasuk sebesar-besar ibadah dan dalam rangka menampakkan syi’ar-syi’ar (Islam)- adalah apa yang kerjakan dalam bulan Rabi’ul Awwal berupa maulid. Acara ini telah menghimpun sejumlah bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan”.

al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”

36. Al-Imam Ibrahim bin Musa Al-Lakhmy Asy-Syathiby –rahimahullah-.

Dalam kitab beliau yang penuh faidah, Al-I’tishom (1/53) tatkala beliau menyebutkan sisi-sisi penyelisihan bid’ah terhadap syari’at. Beliau berkata,

“Di antaranya adalah komitmen di atas kaifiat-kaifiat dan cara-cara tertentu, seperti berdzikir secara berjama’ah di atas satu suara, menjadikan hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai hari raya, dan yang semisalnya”.

37. Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil WahhaAlu Asy Syaikh –rahimahullah-.

Beliau berkata ketika menerangkan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,

“Beliau -yakni Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab- mengingkari apa yang terdapat pada manusia di negeri-negeri itu dan selainnya, berupa membesarkan/mengagungkan maulid-maulid dan hari-hari raya jahiliyah yang tidak pernah diturunkan (oleh Allah) hujjah tentang pengagungan tersebut. Tidak datang tentangnya hujjah syar’iyah dan tidak pula argument sedikitpun, karena di dalamnya ada penyerupaan kepada orang-orang Nashrani yang sesat dalam hal hari-hari raya mereka, baik yang berupa waktu maupun tempat. Dia adalah kebatilan dalam syari’at pimpinannya para Rasul”

[Lihat Majmu’atur Rosa`il An-Najdiyyah -cet. Al- Manar- (4/440) dan Ad-Durar As-Sunniyyah (4/409)]

38. Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany –rahimahullah-.

Beliau berkata,

“Saya tidak menemukan satupun dalil yang membolehkannya. Orang yang pertama kali mengada-adakannya adalah Raja Al-Muzhoffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh  dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa itu adalah bid’ah”. Lihat kitab Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid karya ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Yamany hal. 37.

 

39. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, rahimahullah-.

Beliau berkata dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’,(hal. 7-8),

“Tidak boleh merayakan maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan tidak pula maulid (ulang tahun) selainnya, karena hal itu adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam agama. Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah mengerjakannya, tidak pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula selain mereka dari kalangan para sahabat -ridhwanullahi ‘alaihim-, dan tidak pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah, lebih sempurna kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan lebih mengikuti syari’at beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka”.

Pada hal. 47-48 beliau ditanya tentang sebagian perayaan, seperti maulid Nabi, Isra` Mi’raj, dan Tahun Baru Hijriah, maka setelah beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam ini dan Dia telah melarang dari berbuat bid’ah di dalamnya, beliau berkata,

“Perayaan-perayaan ini -yang disebutkan dalam pertanyaan- tidak pernah dikerjakan oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Padahalbeliau adalah manusia yang paling fasih, paling tahu tentang syari’at Allah, paling bersemangat dalam memberikan hidayah kepada ummat dan memberikan tuntunan kepada mereka menuju perkara yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan yang diridhoi oleh Maula (Penolong) mereka (yakni Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).

Hal ini juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum-, padahal mereka adalah manusia yang terbaik, paling berilmu setelah para nabi, dan yang paling bersemangat dalam (mengerjakan) kebaikan. Hal itu juga tidak pernah dilakukan olah para imam yang berada di atas hidayah di zaman-zaman keutamaan.

Bid’ah ini tidaklah diada-adakan kecuali oleh sebagian orang-orang belakangan berlandaskan ijtihad dan sangkaan baik, tanpa dalil. Kebanyakan mereka berlandaskan taqlid kepada orang-orang yang telah mendahului mereka dalam perayaan ini. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin adalah hendaknya mereka berjalan di atas jalan yang dipijak oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum- serta harus waspada terhadap perkara-perkara yang diada-adakan oleh manusia dalam agama Allah sepeninggal mereka, inilah jalan yang lurus dan manhaj yang kokoh”

Lihat juga Fatawa beliau (4/280-282)

40. Syaikh Muhammad bin ‘Abdis Salam Asy-Syuqoiry –rahimahullah-.

Beliau berkata dalam kitabnya As-Sunan wal Mubtada’at Al-Muta’alliqah bil Adzkar wash Sholawat, hal. 138-139,

“Pada bulan ini (Rabi’ul Awwal) beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan dan pada bulan ini pula beliau diwafatkan, maka kenapa mereka bergembira dengan kelahiran beliau dan tidak bersedih dengan kematian beliau?!

Jadi, menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari raya dan peringatan adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak dibawa (baca: diterangkan) oleh syari’at maupun akal.

Seandainya di dalamnya ada kebaikan maka bagaimana mungkin Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali -ridhwanullahi ‘alaihim- serta seluruh sahabat, tabi’in, orang-orang yang mengikuti mereka, para imam, dan yang mengikuti mereka bisa lalai darinya?!”.

41. Al-‘Allamah Ismail Al-Anshory –rahimahullah– berkata dalamAl-Qaulul Fashl,

“Sesungguhnya bersandar di atas pengakuan bahwa seseorang menerima perintah-perintah Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) dalam mimpi untuk merayakan maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wasallam-) tidaklah teranggap, karena mimpi dalam tidur tidak bisa menetapkan sunnah yang tidak ada dan tidak bisa membatalkan sunnah yang sudah ada sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama”

42. terkait dengan no 41. Imam Asy-Syathiby-rahimahullah– berkata dalamAl-I’tishom (1/209),

“Mimpi selain para Nabi tidak bisa menghukumi syari’at, bagaimanapun keadaannya kecuali harus diperhadapkan kepada sesuatu yang ada di depan kita berupa hukum-hukum syari’at (Al-Kitab dan As-Sunnah). Jika hukum-hukum syari’at ini membolehkannya, maka kita amalkan berdasarkan hukum-hukum itu. Jika tidak, maka wajib untuk ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidahnya tidak lain sekedar sebagai kabar gembira (bila mimpinya baik) atau peringatan (jika mimpinya buruk). Adapun mengambil petikan-petikan hukum darinya, maka tidak!”.

43. Imam jalaluddin As-suyuty menjelaskan dalam risalahnya yang berjudul “Husnul-Maqosid fi A’malil-Maulid : “orang pertama yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi SAW ialah Sultan Al-Mudzaffar, penguasa arbil (suatu tempat di Iraq sebelah timur / selatan kota mausil).

44. Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”. Kemudian, bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H. Tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini. Kemudian, mereka diikuti oleh Al-Muzhaffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Asy-Syaukaniy rahimahullah

 

Dari segi tarikh kelahiran juga, masih ada perselisihan pada tarikh Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Satu tarikh yang tepat tidak dapat ditentukan, makanya pada tarikh apakah yang umat Islam sedunia rayakan sebenarnya? Kerana syiah juga menganggap nombor 12 ini signifikasi bagi mereka terhadap imamah mereka yang maksum yang 12 orang.

45. Mahmud Pasya ketika membuat kajian mengenai tarikh gerhana matahari semenjak zaman Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam.

Tarikh kelahiran Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya masih diperselisihkan oleh para ulama sejarah. Tarikh 12 Rabiulawal sebenarnya tarikh yang masyhur disebut oleh sebahagian ahli sejarah seperti yang direkodkan dalam Sirah Ibn Ishaq dan Musannaf Ibn Abi Syaibah. Walau bagaimanapun, tarikh 9 Rabiulawal lebih sahih dan bertepatan dengan kajian ilmu falak moden. Seorang ahli falak moden yang berasal dari Mesir, Mahmud Pasya ketika membuat kajian mengenai tarikh gerhana matahari semenjak zaman Nabi s.a.w. mendapati tarikh kelahiran Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam yang paling tepat ialah 9 Rabiulawal. (Al-Rahiq al-Makhtum, hlm. 71)

Antara alasan-alasan yang dikemukakan oleh Mahmud Pasya ialah:

· Dalam Sahih Bukhari disebut ketika anak Rasulullah iaitu Ibrahim wafat, telah berlaku gerhana matahari iaitu pada tahun ke 10 Hijrah dan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam ketika itu berusia 63 tahun.

· Berdasarkan kaedah kiraan falak, diketahui bahawa gerhana matahari yang berlaku pada tahun 10H itu adalah bertepatan dengan 7hb. Januari 632M pukul 8.30 pagi.

· Berdasarkan kepada kiraan ini, sekiranya kita undurkan 63 tahun ke belakang mengikut tahun qamariah, maka kelahiran Nabi jatuh pada tahun 571M. Berdasarkan kira-kira yang telah dibuat beliau, 1hb. Rabiul Awwal menepati 12hb. April 571M.

· Perselisihan pendapat berlaku tentang tarikh kelahiran Nabi  walaubagaimanapun semua pihak telah sepakat mengatakan ia berlaku pada hari Isnin bulan Rabiul Awwal.

Mereka hanya berselisih tentang tarikh di antara 8 hingga 12 haribulan dalam bulan Rabiul Awwal tersebut. Tetapi Mahmud Pasya mendapati hari Isnin jatuh pada 9hb. Rabiul Awwal bersamaan 20hb. April 571M. Ini menguatkan lagi pendapat ulama-ulama muktabar yang telah disebutkan di atas. Di antara penulis sirah mutaakhir yang menyokong pendapat ini ialah

46. Syeikh Muhammad Al Khudhori Bik di dalam Nurul Yaqin (hal. 6),

-Safiyyul Rahman Al Mubarakpuri di dalam Ar Rahiqul Makhtum (hal. 54)(sama dengan no. 42),

47. ‘Allamah Sibli Nu’mani di dalam Siratun Nabi (jld. 1, hal. 176),

48. Maulana Abul Kalam Azad di dalam Rasul Rahmat (hal. 37) dan lain-lain.

 

Dari segi ushul hadith periwayatan hadith tentang 12 rabiul awwal juga telah diterangkan oleh ulama hadith terdahulu tentang Ibnu Ishaq. Pendapat yang menyatakan bahawa Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada 12 Rabiul Awwal itu walaupun masyhur tetapi ia berasaskan riwayat yang lemah kerana ia berpunca daripada Ibnu Ishaq seperti mana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab sirahnya.  Menurut ulama-ulama rijal hadis, Ibnu Ishaq selain dianggap sebagai seorang Syiah, dia juga seorang yang lemah dalam riwayat-riwayatnya.

49. Imam Nasa’i mengatakan bahawa dia tidak kuat.

50. Daraqutni mengatakan hadithnya tidak boleh menjadi hujjah.

51. Imam Abu Daud ada berkata, “Dia adalah seorang yang berfahaman Qadariah dan Mu’tazilah.”

52. Imam Sulaiman At-Taimy, mengatakan dia seorang pendusta besar.

53. Hisyam bin Urwah, mengatakan dia seorang pendusta besar.

54. Yahya bin Said Al-Qatthan mengatakan dia seorang pendusta besar.

55. dan Imam Malik mengatakan dia seorang pendusta besar.  Malah Imam Malik pernah berkata, “Dia seorang dajjal” (Mizanul I’tidal, Imam Zahabi, jilid 3, halaman 468-475).

Ibnu Ishaq sendiri tidak menyebutkan sanad-sanad tempat ambilannya.

Pendapat yang sahih dan kuat bagi tarikh kelahiran Baginda ialah pada hari Isnin, 9hb Rabiul Awwal Tahun Gajah.  Di antara ulama yang berpendapat sedemikian ialah

56. Humaidi,

57. Uqail,

58. Yunus bin Yazid,

59. Ibnu Abdillah,

60. Ibnu Hazam,

61. Muhammad bin Musa Al-Khuwarazmi,

62. Abdul Khattab Ibnu Dihyah,

63. Ibnu Taimiyyah,

64. Ibnu Qayyim,

65. Ibnu Kathir,

66. Ibnu Hajar dan

67. Badruddin `Aini (Al-Bidayah wa An Nihayah, jilid 2 halaman 260-261)

 

Tidak ada bukti sahih jika sahabat mulia, khulafaur Rasyidin misalnya, merayakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan Ibnu Taimiyah yang disebutkan di atas.

Tidak pernah kita melihat adanya riwayat dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman atau ‘Ali bin Abi Tholib yang menuntunkan hal tersebut. Padahal para sahabat lebih bersemangat pada kebaikan daripada kita. Bagaimana mungkin sampai ada generasi belakangan memperingatinya, padahal generasi terbaik umat ini tidak memperingati kelahiran beliau? Apa kita mau disebut lebih baik dari mereka para sahabat? Seandainya ada dalil dan bukti dari mereka, tentu para ulama salaf banyak yang merayakannya karena ada contohnya dari generasi terbaik umat Islam, bahkan kami pun yang dicap Wahabi akan memeriahkannya. Namun sampai sekarang tidak pernah didatangkan bukti dalil. Lantas di atas ajaran siapa mereka merayakan?

Lihatlah prinsip ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan firman Allah, surat Al Ahqaf ayat 11,

وأما أهل السُّنّة والجماعة فيقولون في كلِّ فِعلٍ وقولٍ لم يَثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرًا؛ لَسَبقونا إليه؛ لأنهم لم يتركوا خصلة مِن خصال الخير إلا وقد بادروا إليها”.

“Adapun para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka berkata pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, mereka menggolongkannya sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir)

Berhubung dengan tarikh wafat Nabi Muhammad ‘alaihi wa sallam pula, beberapa perkara yang telah diterima oleh ulamak hadis dan sirah perlu diletakkan di hadapan untuk menentukan tarikhnya iaitu:

  • Tahun kewafatan Baginda ‘alaihi wa sallam ialah 11H
  • Dalam bulan Rabiul Awwal
  • Antara 1hb. Hingga 12hb.
  • Hari Isnin (Sahih Muslim, jld. 8 hal. 51-52)
  • Hari wuquf di Arafah dalam Haji Wada’ pada 9 Zulhijjah tahun ke 10H jatuh pada hari Jumaat.  (Tafsir Al Quraanul ‘Adzim, Ibnu Katsir, jld. 2, hal. 15, Sahih Al Bukhari, Sahih Muslim, dll).
  • Daripada hari itu (wuquf) sampai kepada hari wafatnya Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa sallam adalah 81 hari.  (Tafsir Al Quraanul ‘Adzim, Ibnu Katsir, jld. 2 hal. 15, At Tafsir Al Kabir, Fakhrul Razi, j.11 hal. 139, Tafsir Baghawi, Fathul Bari).

Berdasarkan kepada beberapa perkara yang telah diterima oleh para ulama tadi, maka boleh diandaikan tarikh kewafatan Baginda s.a.w. seperti berikut:
1. Diandaikan ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan Safar mempunyai 30 hari (walaupun tidak pernah berlaku begitu tetapi diandaikan mungkin juga berlaku) maka hari Isnin menepati  6 atau 13hb. Rabiul Awwal.

  1. Jika diandaikan  ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan Safar mempunyai 29 hari (walaupun ini juga tidak pernah berlaku) maka hari Isnin menepati 2, 9 atau 16hb. Rabiul Awwal.

Selain daripada dua andaian tersebut itu, terdapat enam andaian lagi seperti yang terdapat dalam jadual berikut:

Jumlah hari bagi bulan                                    Tarikh Hari Isnin dalam bulan Rabiul Awwal
———————————————————————————————————————————-
Zulhijjah (30) Muharram (29) Safar (29)                 1        8        15
Zulhijjah (29) Muharram (30) Safar (29)                 1        8        15
Zulhijjah (29) Muharram (29) Safar (30)                 1        8        15
Zulhijjah (30) Muharram (29) Safar (30)                 7        14      21
Zulhijjah (30) Muharram (30) Safar (29)                 7        14      21
Zulhijjah (29) Muharram (30) Safar (30)                 7        14      21

Daripada tarikh-tarikh yang diandaikan tadi; 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15 dan 16hb. Rabiul Awwal tidak dapat diterima kerana selain daripada alasan-alasan yang tersebut tadi, tidak ada satupun riwayat yang menyokongnya.  Berkenaan dengan 2hb. pula , selain daripada tidak mungkin terjadinya ketiga-tiga bulan Zulhijjah, Muharram dan Safar terdiri daripada 30 hari di dalam kesemuanya, tidak ada juga riwayat yang sahih mengenainya.  Apa yang ada hanyalah riwayat Hisyam bin Muhammad Al Kalbi dan Abu Mikhnaf yang dianggap sebagai pendusta oleh ulama-ulama hadis.

Berhubung dengan 1hb. pula, ia adalah daripada riwayat tokoh utama sirah iaitu Musa bin Uqbah dan ulama hadis yang terkenal Imam Laith bin Saad,  Abu Nua’im Fadhal bin Dukain dan lain-lain.  Pendapat ini juga disokong oleh Imam Suhaili dan Al Khuwarazmi. (Fathul Bari, Jilid 16. hal. 206, Ar Raudhul Unuf,  jilid 7, hal. 579).  Daripada kenyataan-kenyataan yang disebut di atas, tarikh yang lebih tepat bagi kewafatan Nabi ‘alaihi wa sallam ialah pada hari Isnin 1hb. Rabiul Awwal tahun 11H bersamaan dengan 25hb. Mei 632M.

Berdasarkan kepada fakta-fakta yang telah kami kemukakan pihak kami berharap agar masyarakat menilai semula tarikh sebenar kelahiran nabi sallalahu ‘alaihi wa sallam dan tidak merayakan suatu hari yang kononnya hari kelahiran Nabi sallalahu ‘alaihi wa sallam padahal ia bukanlah harinya yang sebenar.

—————————————————————————————————

Hadits palsu maulid nabi..

Teks hadisnya,

مَنْ عَظَّمَ مَولِدِى كُنتُ شَفيعًا لَه يَومَ القِيَامَة. وَمَنْ اَنْفَقَ دِرهَمًـا فِى مَولِدِى فَكَاَنَّمـَا اَنفَقَ جَبَلًا مِن ذَهَبٍ فِى سَبِيلِ الله

“Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat, dan siapa mendermakan satu dirham untuk menghormati kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di dalam perjuangan fi sabilillah.”

Status Hadits

Kami tidak pernah menjumpai hadis ini. Bahkan ada keterangan dari sebagian ulama bahwa hadis ini adalah hadis palsu, dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara Syaikh Abdullah Aljibrin. Ketika ditanya tentang hadis ini, beliau mengatakan,

هذا الحديث لا يصح، ولم يرو في أصحاب الصحيح ولا أصحاب السنن فهو مكذوب

Hadis ini tidak shahih, tidak pernah diriwayatkan para penulis kitab shahih atau penulis kitab sunan. Hadits ini dusta.
[http://www.ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-6019-.html]

 


 

Info ttg Ibnu Taimiyyah menyokong maulid kurang lengkap. Dibawah lebih benar

========================

فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد

“Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi TIDAK dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.”

(Ibnu Tamiyah, Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, Tahqiq oleh Dr Nashir Abdul Karim Al’Aql, 2/126~127)
https://rumaysho.com/874-benarkah-ibnu-taimiyah-ibnu-hajar-shalahuddin-al-ayubi-pro-maulid-nabi.html

Rujukan ilmu sahih agar beramal ibadah sesuai syar’ii bukan beramal ibadah cara syioksendiri = www.yufid.com

 





‘DIBALIK’ UCAPAN SELAMAT HARI NATAL

31 12 2012

Perbuatan yang boleh membawa kepada kesyirikan akbar

‘DIBALIK’ UCAPAN SELAMAT HARI NATAL.(Chistmas)





KHUTBAH IBLIS YANG SANGAT MENYENTUH HATI…

31 12 2012

Janganlah kita turuti penyesalan Iblis dan pengikutnya. Kelak kita pasti merasa rugi dan sesal

KHUTBAH IBLIS YANG SANGAT MENYENTUH HATI….





[Artikel] Hukum Hakam Kurban | One Aqidah

24 10 2012

[Artikel] Hukum Hakam Kurban | One Aqidah.
من وَجَدَ سَعَةً ولم يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Maksudnya: “Sesiapa yang mampu tetapi tidak berkorban maka janganlah dia dekati tempat solat kami”[Ahmad, Ibn Majah].[Hadis ini sanadnya daif sebagaiman takhrij al-Arnauth dalam Musnad Ahmad. Al-Albani menilainya hasan. Ibn Majah sendiri menilainya sebagai daif.]





Ilmusunnah.com – Menepis Ancaman Syaitan

21 10 2012

Ilmusunnah.com – Menepis Ancaman Syaitan.





20 10 2012

Dr Fathul Bari

Ustaz Fathul Bari Mat Jahya

Ancaman dan cabaran yang dihadapi oleh umat Islam pada hari ini, tekanan yang ditimpakan ke atas umat Islam, penghinaan ke atas agama, Nabi, Al-Kitab yakni Al-Quranul Karim, sahabat dan isteri-isteri Nabi SAW seperti yang dipaparkan dalam sedutan filem Innocence of Muslims, mengapa hal seperti ini boleh berlaku?

Nabi SAW telah menyatakan kepada kita di antara sebab dan punca hal-hal seperti ini berlaku melalui sabdanya,

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ عَلَى قَصْعَتِهَا. قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ قَالَ: أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنْ تَكُونُونَ غُثَاءً كَغُثَاءِ السَّيْلِ يَنْتَزِعُ الْمَهَابَةَ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيَجْعَلُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قَالَ: قُلْنَا وَمَا الْوَهْنُ قَالَ: حُبُّ الْحَيَاةِ وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Hampir sahaja manusia ini akan diserang oleh golongan kuffar yang membenci Islam sama seperti orang yang lapar menuju kepada pinggan yang dihidangi dengan makanan. Sahabat Nabi bertanya, ‘Adakah kami pada ketika…

View original post 1,361 more words





Ilmusunnah.com – Mengenal Imam asy-Syafi’i rahimahullah

20 10 2012

Ilmusunnah.com – Mengenal Imam asy-Syafi’i rahimahullah.





Larangan Mencukur Bagi Yang Hendak Berkurban

18 10 2012

Larangan Mencukur Bagi Yang Hendak Berkurban.








Abu Yusof Ibn 'Abdullah

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

MUHAMMAD WASITHO ABU FAWAZ

HIDUP BAHAGIA DI ATAS TAUHID DAN SUNNAH

Ibnu Taimiyah

Menguak keagungan seorang Syaikhul Islam

Maktabah Abi Humaid

"Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid'ah"

Ustaz Idris Sulaiman

Berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah Mengikut Pemahaman Salaf Al-Soleh

Kisah Teladan & Sejarah Islam

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

Firanda Andirja Official

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

..

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

Mashoori's Blog

Menuju Kegemilangan Melalui Dakwah Salafiah

Ilmusunnah.com

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

Abu Abdillah Riduan Khairi

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam. (Bukhari & Muslim)

Dr Fathul Bari

Meniti Jalan Nabi dan Para Sahabat

HafizFirdaus.com ~ Islam untuk Semua

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

One Aqidah

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah

Kajian Imam Syafie

Hidup Sunnah Jauhi Bid'ah